Yogyakarta – Bercanda bukan sekadar perkara sepele dalam pandangan Islam. Pada Pengajian Tarjih yang diselenggarakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Rabu (02/07), Ghoffar Ismail, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid, menguraikan secara mendalam bagaimana Islam membimbing umatnya dalam bercanda.
Ghoffar menyampaikan kajian tentang etika bercanda dalam Islam ini melalui kerangka norma bertingkat: nilai dasar (al-qiyam al-asasiyah), prinsip umum (al-ushul al-kulliyah), dan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah).
Dalam paparannya, Ghoffar menekankan bahwa bercanda dalam Islam diperbolehkan, bahkan dianjurkan, sepanjang dilakukan dengan benar dan tidak menyimpang dari ajaran agama.
Ia mengutip hadis Nabi Saw dalam al-Mu‘jam al-Kabir karya al-Thabarani yang menyebutkan bahwa amal paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang kita berikan kepada sesama.
“Termasuk dengan canda, bila mampu meringankan beban jiwa dan mempererat hubungan,” jelasnya.
Ghoffar menjabarkan struktur etika bercanda ke dalam tiga tingkatan norma. Pertama, Al-Qiyam Al-Asasiyah atau nilai-nilai dasar. Di antaranya adalah menjaga kehormatan manusia (karāmah al-insān), menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran (al-haqq dan as-sidq), serta memiliki tanggung jawab atas setiap ucapan.
Ia menekankan bahwa bercanda tidak boleh mengandung kebohongan, meski bertujuan membuat orang tertawa.
“Celakalah bagi orang yang berdusta untuk membuat orang tertawa,” kutipnya dari hadis riwayat Abu Daud dan Tirmidzi.
Dalil-dalil dari Al-Qur’an turut memperkuat argumen ini. QS. Al-Hujurat ayat 11 melarang ejekan terhadap sesama. QS. At-Taubah ayat 119 menyeru kepada kejujuran. Sementara QS. Qaf ayat 18 mengingatkan bahwa setiap ucapan manusia tercatat oleh malaikat.
Tingkatan kedua, Al-Ushul Al-Kulliyah, merupakan prinsip-prinsip umum yang operasional. Di antaranya: tidak menyakiti (la dharara wa la dhirara), menjaga batasan dan adab, serta mempererat hubungan sosial (ta’līf al-qulūb).
“Candaan harus menjauhkan diri dari kekasaran, ejekan, atau mengangkat isu tabu. Canda yang baik mendekatkan hati dan mempersatukan,” kata Ghoffar.
Ia merujuk pada QS. An-Nur ayat 19 dan QS. Al-Hujurat ayat 10 sebagai landasan sosial dan moral dari prinsip ini.
Tingkatan terakhir adalah Al-Ahkam Al-Far’iyyah, berupa hukum-hukum praktis dalam bercanda. Ghoffar menjelaskan ada bentuk candaan yang haram, seperti bercanda dengan kebohongan dan penghinaan. Ada pula yang makruh, seperti canda berlebihan atau mengandung kata-kata kasar. Namun, candaan yang jujur, tidak menyakiti, dan diniatkan untuk kebaikan termasuk mubah atau bahkan sunah.
Dalam penjelasannya, Ghoffar mengangkat kisah Rasulullah Saw yang pernah bergurau kepada seorang perempuan tua bahwa ia tidak akan masuk surga. Ketika perempuan itu menangis, beliau menjelaskan bahwa kelak semua penghuni surga akan menjadi muda.
“Ini contoh canda Nabi yang tidak hanya benar, tapi juga memiliki tujuan mulia,” terangnya.
Ghoffar menegaskan bahwa bercanda adalah seni yang perlu dibingkai dalam etika Islam. Ia menutup pemaparannya dengan pesan penting.
“Jangan pernah menjadikan canda sebagai jalan untuk menzalimi. Jadikan ia sebagai cara untuk menebar kasih, menautkan hati, dan menumbuhkan kebaikan.”
Dengan pendekatan teoritis yang sistematis dan basis dalil yang kokoh, materi ini memberi panduan utuh bagi umat Islam untuk menempatkan humor dalam proporsi yang sesuai dengan nilai-nilai syariat. Sebuah kontribusi penting dari Majelis Tarjih dalam membumikan adab Islam di tengah dinamika sosial yang kian cair.
(Kontributor : Arif)