oleh

Bukan Hanya Manusia, Gunung Pun Punya “Perasaan”

Penulis : Jihaan Rezkyanda Putri, Mahasiswi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Jambi

Jambi – Ketika mendengar kata gunung, mungkin yang terbayang di benak kita adalah bentangan alam megah dengan hutan lebat, udara sejuk, dan puncak yang menjulang. Gunung sering menjadi destinasi favorit untuk para pendaki dan pecinta alam. Namun, pernahkah Anda berpikir bahwa gunung, dalam segala diam dan kokohnya, juga memiliki perasaan?. Tidak dalam arti harfiah seperti manusia, tentu saja, tetapi dalam bentuk fenomena alam, budaya, dan simbolisme yang membuat gunung tampak hidup dan berhubungan erat dengan kehidupan manusia.

Di mata banyak orang, gunung hanyalah kumpulan tanah, batu, dan pepohonan yang menjulang tinggi. Namun, bagi mereka yang sering berinteraksi dengan alam, gunung adalah entitas yang hidup. Ia berbicara melalui gemuruh anginnya, menangis lewat aliran sungainya, bahkan “marah” melalui letusan yang dahsyat. Gunung bukan hanya sekadar objek geografis; ia memiliki perasaan yang harus kita pahami dan hormati.Gunung adalah bagian dari bumi yang terus berubah. Proses geologi seperti aktivitas tektonik, erupsi, dan pelapukan membuat gunung seolah memiliki dinamika tersendiri. Ketika sebuah gunung meletus, ia menunjukkan kekuatan luar biasa yang mampu memengaruhi kehidupan di sekitarnya.

Gunung juga menunjukkan perasaannya melalui aktivitas geologis. Letusan gunung berapi, misalnya, bukan sekadar fenomena alam. Ia adalah cara gunung melepaskan tekanan dari dalam bumi. Ketika manusia tinggal terlalu dekat dengan gunung berapi aktif tanpa memahami siklusnya, risiko bencana meningkat. Bagi banyak orang, mendaki gunung adalah pengalaman spiritual.

Namun, meningkatnya popularitas pendakian sering kali membawa dampak negatif. Sampah yang ditinggalkan pendaki, perusakan vegetasi, dan gangguan pada satwa liar adalah bukti bahwa manusia sering kali tidak menghormati “perasaan” gunung.

Seharusnya, pendaki tidak hanya menikmati keindahan gunung, tetapi juga menjaga kelestariannya. Prinsip “leave no trace” atau tidak meninggalkan jejak adalah salah satu cara menghormati gunung sebagai entitas yang hidup. Ketika gunung marah melalui letusan atau longsoran, masyarakat adat memandangnya sebagai tanda bahwa keseimbangan alam telah terganggu.

Jika dilihat dari Gunung dan Ekosistemnya Gunung adalah rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna. Ia menyediakan air bersih, oksigen, dan tanah subur bagi kehidupan di sekitarnya. Ketika gunung dirusak oleh aktivitas manusia seperti penebangan liar, penambangan, atau pendakian yang tidak bertanggung jawab, ekosistemnya terganggu. Jika lingkungan gunung ini rusak, spesies lainnya kehilangan rumah. Dalam konteks ini, perasaan gunung tercermin dalam keseimbangan ekosistemnya.

Gunung juga berbicara melalui tanda-tanda alam. Sebagai contoh, sebelum meletus, gunung biasanya memberikan peringatan seperti gempa kecil, suara gemuruh, atau perubahan bentuk fisiknya. Para ahli vulkanologi memahami bahasa ini dan menggunakannya untuk memprediksi letusan yang akan datang. Misalnya, menjelang letusan Gunung Semeru pada 2021, peningkatan aktivitas kegempaan dan kepulan asap menjadi indikator bahwa gunung “mengirim pesan.” Namun, bahasa ini tidak selalu dapat dimengerti dengan sempurna. Gunung Agung di Bali pernah menunjukkan aktivitas yang tidak menentu pada 2017. Meskipun terjadi peningkatan aktivitas, letusan besar tidak terjadi sesuai prediksi. Hal ini menunjukkan bahwa “perasaan” gunung tetaplah misteri yang belum sepenuhnya terpecahkan.

Gunung juga menunjukkan perasaannya melalui aktivitas geologis. Letusan gunung berapi, misalnya, bukan sekadar fenomena alam. Ia adalah cara gunung melepaskan tekanan dari dalam bumi. Ketika manusia tinggal terlalu dekat dengan gunung berapi aktif tanpa memahami siklusnya, risiko bencana meningkat.

Seperti contoh di Pulau Sumatera yaitu Gunung Kerinci. Gunung ini juga biasa dikenal dengan sebutan “Atap Sumatera”. Memiliki ketinggian 3.805 meter diatas permukaan laut (mdpl) menobatkan Gunung ini sebagai gunung berapi aktif tertinggi yang ada di Indonesia dan Gunung tertinggi ke-2 di Indonesia setelah Gunung Cartenz yang ada di Papua. Gunung ini terakhir meletus pada tahun 2023 yang meluncurkan abu vulkanik setinggi 900 meter dari puncak gunung.

Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) Badan Geologi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), kolom abu dari erupsi itu teramati berwarna kelabu dengan intensitas tebal. Erupsi gunung api tertinggi di Asia Tenggara itu juga terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 3 mm berdurasi 8 menit 20 detik. Hingga hari ini Gunung Kerinci masih mengeluarkan erupsi. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan PVMG juga melarang adanya penerbangan yang melintas di atas gunung.

Bagi banyak orang, mendaki gunung adalah pengalaman spiritual. Namun, meningkatnya popularitas pendakian sering kali membawa dampak negatif. Sampah yang ditinggalkan pendaki, perusakan vegetasi, dan gangguan pada satwa liar adalah bukti bahwa manusia sering kali tidak menghormati perasaan gunung. Seharusnya, pendaki tidak hanya menikmati keindahan gunung, tetapi juga menjaga kelestariannya. Prinsip “leave no trace” atau tidak meninggalkan jejak adalah salah satu cara menghormati gunung sebagai entitas yang hidup.

Mendaki gunung memerlukan usaha keras, kerja sama, dan sikap rendah hati terhadap kekuatan alam. Ketika kita berada di puncak, kita menyadari betapa kecilnya manusia dibandingkan alam semesta. Gunung juga mengajarkan kita untuk menghargai kehidupan. Udara segar, suara alam, dan pemandangan yang menakjubkan adalah pengingat bahwa kita adalah bagian dari ekosistem yang lebih besar. Menghormati Gunung untuk Masa Depan Di tengah krisis lingkungan global, penting bagi kita untuk melihat gunung bukan hanya sebagai sumber daya, tetapi sebagai entitas yang memiliki perasaan.

Perlindungan gunung adalah perlindungan bagi kehidupan kita sendiri. Berbagai langkah dapat dilakukan, seperti mengurangi aktivitas eksploitasi, meningkatkan kesadaran akan pentingnya ekosistem gunung, dan mendukung masyarakat adat yang menjaga kearifan lokal. Selain itu, regulasi yang lebih ketat dan pengawasan terhadap aktivitas pendakian dan penambangan juga perlu diterapkan.

Gunung bukanlah sekadar objek mati. Ia adalah bagian dari kehidupan yang lebih besar, memiliki perasaan yang terlihat dalam keseimbangan ekosistem dan interaksi dengan manusia. Menghormati gunung berarti menghormati alam, kehidupan, dan diri kita sendiri.Jadi, ketika Anda mendaki gunung atau menikmati keindahannya, ingatlah bahwa Anda sedang berinteraksi dengan sesuatu yang hidup.

Perlakukan gunung dengan hormat, karena ia adalah salah satu penjaga kehidupan di bumi ini. Sayangnya, hubungan manusia dengan gunung tidak selalu harmonis. Eksploitasi berlebihan, seperti penambangan, deforestasi, dan pembangunan liar, merusak ekosistem pegunungan. Hal ini tidak hanya mengancam flora dan fauna, tetapi juga memperbesar risiko bencana alam seperti tanah longsor dan banjir.

Untuk menjaga perasaan gunung, kita perlu melestarikannya. Langkah-langkah kecil seperti tidak membuang sampah sembarangan saat mendaki, mengikuti aturan konservasi, dan mendukung kegiatan reboisasi bisa menjadi awal. Pemerintah dan masyarakat juga harus bekerja sama untuk memastikan bahwa kawasan pegunungan dilindungi dari eksploitasi yang merusak.

Gunung mengajarkan kita banyak hal, terutama tentang keseimbangan dan ketabahan. Dalam diamnya, gunung mengingatkan kita bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari alam semesta yang luas. Gunung mengajarkan tentang kekuatan yang harus dihormati, bukan ditundukkan. Ketika kita berdiri di puncak gunung, memandang ke cakrawala yang tak berujung, kita merasakan kerendahan hati. Gunung, dengan segala perasaannya, adalah simbol kehidupan yang berharga untuk dijaga.(*)

Bagikan

Baca Juga