Bali – Anggota Komisi VI DPR RI, Herman Khaeron, menyoroti rencana impor 2 juta sapi perah oleh 60 perusahaan untuk memenuhi kebutuhan susu nasional. Ia menyayangkan kebijakan tersebut, terutama di tengah situasi di mana produksi susu lokal tidak terserap maksimal. Menurutnya, langkah ini mencerminkan lemahnya pengelolaan sektor pangan, yang seharusnya menjadi kekuatan utama Indonesia sebagai negara agraris. Minggu (17/11)
“Sebagai negara agraris, kita punya potensi besar untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri, bahkan untuk ekspor. Tapi, lihat apa yang terjadi? Produksi susu petani lokal di Boyolali terbuang percuma, sementara kita malah mengimpor sapi,” ungkap Herman dalam Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VI DPR RI ke Gianyar, Bali.
Politisi Fraksi P-Gerindra itu menilai bahwa persoalan utama bukan pada kapasitas produksi, tetapi pada pengelolaan distribusi yang tidak efektif dan efisien. Ia mendesak pemerintah untuk segera mengonsolidasikan lintas sektor, termasuk kementerian, agar memastikan hasil produksi memiliki pasar yang jelas.
“Petani kita mampu menghasilkan produk dalam jumlah besar, tetapi distribusinya belum didukung sistem yang memadai. Ini bukan hanya berdampak pada peternak susu, tetapi juga pada petani wortel, bawang merah, dan cabai yang sering kali mengalami krisis harga. Pola seperti ini harus segera diakhiri,” jelasnya.
Herman juga menekankan pentingnya pembangunan sistem distribusi berbasis klaster agraris yang menghubungkan produksi langsung dengan pasar.
“Jika pemerintah mampu menciptakan klaster agraris yang terkelola dengan baik, maka produksi, distribusi, dan pemasaran dapat terintegrasi. Ini adalah solusi jangka panjang,” tambahnya.
Menurutnya, rencana impor sapi perah justru berpotensi melemahkan daya saing petani lokal. Dalam kondisi peternak susu lokal yang sudah menghadapi tantangan besar, kebijakan ini dapat semakin membebani mereka.
“Kita seharusnya fokus memperkuat produksi lokal. Kalau tidak, petani kita akan semakin kehilangan harapan,” tegas Herman.
Ia juga mengaitkan isu ini dengan program nasional, seperti Makan Bergizi Gratis, yang dirancang untuk meningkatkan gizi masyarakat sekaligus memberdayakan ekonomi daerah. Menurut Herman, program ini dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan penyerapan produksi lokal.
“Para pembantu presiden harus segera merumuskan kebijakan konkret dan berkelanjutan. Keterlambatan menangani persoalan ini tidak hanya merugikan petani, tetapi juga mengancam ketahanan pangan nasional,” ujarnya.
Herman optimistis bahwa Indonesia bisa menjadi kekuatan agraria global. Menurutnya, perbaikan di sektor agraris harus menjadi prioritas untuk menciptakan kesejahteraan rakyat dan ketahanan pangan yang berkelanjutan.
“Kewajiban negara adalah memberikan solusi yang tidak hanya menyelesaikan masalah saat ini, tetapi juga membangun masa depan yang lebih baik bagi petani kita. Mereka adalah pilar ketahanan pangan dan ekonomi bangsa,” tutup legislator Dapil Jawa Barat VII itu.
Rencana Impor Sapi Perah
Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono, sebelumnya menyampaikan bahwa 60 perusahaan dari dalam dan luar negeri akan berinvestasi di industri sapi perah. Perusahaan-perusahaan ini akan mengimpor sapi perah hidup dengan total sekitar 2 juta ekor.
Sudaryono menjelaskan, langkah ini dilakukan untuk mengimbangi pertumbuhan kebutuhan susu akibat meningkatnya jumlah penduduk. Saat ini, impor sapi masih dalam proses perizinan, dan pemerintah sedang mencocokkannya dengan kelompok peternak yang ada.
Sementara itu, Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi, menyatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan untuk mengevaluasi regulasi impor susu. Hal ini dilakukan menyusul permasalahan kelebihan produksi susu lokal yang tidak terserap oleh pabrik.
Saat ini, sekitar 80 persen susu yang dikonsumsi masyarakat Indonesia berasal dari impor, terutama dari Selandia Baru dan Australia.
(Kontributor : Rafi)