PB|Surabaya – Surabaya Outlook 2017, yang mengangkat tema “Melawan Intoleransi, Mencegah Radikalisme”, Senin (16/01/2017). Kegiatan berlangsung di aula Fisip Unair Surabaya. Kegiatan ini dikuti oleh sedikitnya 200 peserta, dan menghadirkan narasumber lain diantaranya, Dandim (Komandan Kodim) Surabaya Timur Letkol Dodiet L,S.Pd, Aisyah Wahid dari Gusdurian Surabaya, serta Dekan Fakultas Fisip Unair Surabaya. Dalam kesempatan tersebut, Kombes Pol. M. Iqbal menyampaikan poin penting yang berkaitan dengan Radikalisme dan Intoleransi, yakni ada 4 pilar kebangsaan diantaranya, Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
“Dewasa ini keempat Pilar Kebangsaan tersebut semakin tergerus oleh Perkembangan Jaman. Sebagai Generasi Penerus Bangsa wajib hukumnya bagi kita untuk melakukan penguatan terhadap Empat Pilar Kebangsaan tersebut”, tegas Perwira Menengah yang pernah menjabat sebagai Kabid Humas Polda Metro Jaya ini. Iqbal juga memberikan penekanan kepada para peserta yang hadir untuk bersama-sama memberikan perhatian terhadap potensi intoleransi dan radikalisme di lingkungan masing-masing. “Jika melangkah bersama, segala permasalahan bangsa akan dapat terselesaikan” pungkas Iqbal.
Media sosial (Medsos) telah menjadi senjata utama intoleransi, radikalisme, dan terorisme.
“Para pelaku (terorisme) sebenarnya adalah korban, yang telah dicuci otaknya memakai jaringan internet,” ujarnya dalam Surabaya Outlook 2017, yang diselenggaralan Jaringan Gusdurian di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unair. Iqbal berjanji akan memproses hukum, siapapun yang terbukti melakukan pelanggaran hukum. Termasuk para penyebar hoax.Pada acara itu, Kapolrestabes juga menyampaikan beberapa cara pencegahan berkembangan intoleran, radikalisme dan terorisme melalui media sosial. Pertama, dengan mengenalkan ilmu pengetahuan dengan baik dan benar, sehingga dapat diimplementasi dalam sikap kehidupan sehari-hari.
“Para pelaku teroris itu, mereka sebenarnya tidak terlalu paham ajaran yang mereka yakini. Karenanya kami melakukan deradikalisasi. Proses mengenalkan ilmu pengetahuan ini harus terus berkelanjutan,” katanya. Selain juga harus diiringi dengan mengenalkan pengetahuan, perlu untuk memahamkan ilmu pengetahuan dengan baik secara saintifik. Ketiga, pencegahan dapat dilakukan dengan meminimalisir kesenjangan sosial. Karena menurutnya hal itu penting dan menjadi ciri terjadinya gangguan keamanan.
“Kami (polisi) walapun dipersenjatai, anggarannya meningkat berapa kali pun, kalau kesenjangan sosial dibiarkan, ya akan percuma,” ujarnya. Menjaga persatuan dan kesatuan, serta mendukung aksi perdamaian, adalah hal lain yang bisa dilakukan untuk mencegah perkembangan paham Radikalisme di media sosial. Iqbal mengklaim, polisi di Surabaya telah banyak melakukan dialog dengan berbagai elemen masyarakat melalui forum diskusi, cangkrukan, dan lain sebagainya. Tidak ketinggalan pula Putri mantan Presiden RI Abdurahman Wahid (Gus Dur), Alissa Wahid, menyebut sebagian besar anak muda atau pemuda di Indonesia menolak terorisme, intoleransi dan kekerasan atas nama agama. “Mereka tidak percaya bahwa agama itu bisa diwujudkan dalam bentuk teror. Tidak ada orang menjadi suci kalau caranya meneror, tetapi sikap terhadap kelompok lain cenderung lebih intoleran,” kata Alissa Wahid saat di acara tersebut.
Menurut dia, pendapat tersebut merupakan hasil survei yang dilakukannya terhadap ribuan anak muda di Indonesia. “Jadi ada dua kecenderungan yang berbeda. Pertama, memandang orang lain sebagai musuh itu lebih kuat, tetapi kalau kekerasan tidak. Ini dua hal yang perlu disikapi lebih arif oleh negara dan semua elemen masyarakat,” katanya.
Pemilik nama lengkap Alissa Qotrunnada Munawaroh ini mengatakan pihaknya juga melakukan riset terhadap gagasan gagasan di sosial media terutama yang terkait dengan ekstrimisme. Ia mengatakan kondisi intoleransi di Indonesia sudah mengkahwatirkan. “10 tahun kami sudah mengingatkan bahwa ada kecenderungan seperti ini. Bahkan Gusdur sudah mengingatkan pada 1983. Tapi saat itu dipandang itu ekspresi keberagamaan saja. Tapi sekarang sudah real ancaman,” katanya. Hasil survei Jaringan Gusdurian bersama lnternationai NGO Forum On Indonesian Development (lNFlD) terhadap persepsi generasi muda Indonesia atas radikalisasi dan ekstrimisme cukup positif. Dari 1.200 responden berusia 15-30 tahun di enam kota besar Indonesia yang diwawancarai, termasuk di Surabaya, 88,2 persen di antaranya sangat tidak setuju dengan kelompok agama yang menggunakan kekerasan.
Beka Ulung Hapsara Manajer Advokasi INFID mengatakan, survei itu dilakukan dengan metode Proportionate Stratified Random Sampling (sampling error 2.98 persen dengan tingkat kepercayaan 9.596) selama September-November 2016. Data hasil survei itu menunjukkan, hanya 3,8 persen anak muda yang setuju dengan tindakan kelompok agama tertentu yang menggunakan kekerasan. “Jadi lndonesia masih bisa optimistis dengan sikap generasi muda yang ada, karena mayoritas anak muda tidak menyukai tindakan radikal dan ekstrim berbasis agama,” ujarnya dalam Surabaya Outlook 2017, di Fisip Unair, Senin (16/1/2017).
Namun, kata Beka, hasil survei itu juga menunjukkan ada kecenderungan penurunan toleransi di kalangan anak muda Indonesia. Mengenai hal ini, Alissa Wahid Seknas Jaringan Gusdurian mengatakan, “ada dua kecenderungan (anak muda). Satu memandang orang lain sebagai musuh itu lebih kuat, tapi terhadap kekerasan tidak setuju.”
Dua kecenderungan itu, kata Alissa, harus disikapi oleh negara dan seluruh elemen masyarakat dengan lebih arif. Ada sisi lain hasil temuan survei tersebut, bahwa nilai-nilai kebhinnekaan masih menjadi faktor utama yang membuat anak muda bangga akan Indonesia. Berdasarkan aspek Nasionalisme, ada sebanyak 94,5 persen responden survei merasa bangga sebagai Warga Negara lndonesia.
Paling banyak (29,7 persen) mereka mengaku bangga akan Indonesia karena keragaman suku dan agama di negara ini yang saling menghormati. Sedangkan 26, 8 persen di antaranya bangga karena masyarakatnya saling membantu.
Sisanya, sebangak 15, 3 persen responden bangga karena alam Indonesia yang indah dan bervariasi; 8,4 persen karena negara yang damai dan melindungi warganya; lainnya menjawab dengan alasan lain atau tidak tahu.(Setyo|red)