Jakarta – Kementerian Agama menggelar Ngaji Budaya dengan tema “Tradisi Muharram di Nusantara: Pesan Ekoteologi dalam Perspektif Kearifan Lokal” di Auditorium HM Rasjidi, Kemenag, Jakarta, Senin (23/6/2025). Acara ini menjadi bagian dari rangkaian kegiatan bertajuk Peaceful Muharram yang diselenggarakan Kemenag dalam menyambut tahun Baru Islam.
Giat ini menghadirkan budayawan dan pemikir kebangsaan, dengan Kiyai Sastro Al Ngatawi, sebagai narasumber utama.
Menteri Agama Nasaruddin Umar menyampaikan bahwa peringatan 1 Muharram bukan sekadar rutinitas tradisi, melainkan momentum untuk melakukan kontemplasi dan pensucian diri, baik lahir maupun batin.
“Memperingati 1 Muharram ini bukan melestarikan bid’ah. Justru kalau paham konsep ekoteologi, sulit untuk musyrik. Pesan dari ekoteologi sejatinya selaras dengan pesan 1 Muharram, karena di waktu itu, kita dilarang berperang, dilarang membuat konflik, dan diminta untuk melakukan introspeksi,”ungkapnya.
Menurut Menag, tradisi peringatan 1 Muharram ini merupakan apresiasi terhadap waktu. Menurutnya setiap waktu dan tempat memiliki kesakralannya sendiri.
“Tidak semua tempat dan waktu sama. Contohnya, solat di depan Ka’bah bernilai seratus ribu kali lipat. Shalat di Masjid Nabawi bernilai dua puluh ribu kali lipat,” ucapnya.
“Momen peringatan 1 Muharram ini adalah sarana penajaman hati nurani. Akal kita mungkin sudah tajam, tapi belum tentu batin kita. Maka kita berkumpul di sini, duduk di lantai, tanpa kursi, sebagai bentuk kekuatan simbolik. Ini penting sebagai shock therapy untuk membangkitkan kesadaran jiwa,” tegasnya.
Dalam berbagai agama dan budaya, lanjut Menag, terdapat penghormatan terhadap waktu dan tempat suci sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan. Melalui konsep ekoteologi, kita diajak menyadari bahwa manusia adalah bagian dari alam, dan sebaliknya.
Menag juga mengajak untuk menumbuhkan semangat ekoteologis, yakni mencintai ciptaan sebagai bagian dari diri sendiri, dan memperlakukan alam dengan kasih dan hormat.
“Orang yang menyatu dengan alam tidak hanya mencintai bunga yang mekar, tapi juga bunga yang layu dan gugur. Karena dalam pandangan ekoteologi, semua fase kehidupan memiliki makna dan layak dicintai,” jelasnya.
Dirjen Bimas Islam, Abu Rokhmad, melaporkan bahwa Ngaji Budaya merupakan kelanjutan dari rangkaian peringatan 1 Muharram. Sebelum ini, Kemenag menggelar kegiatan Car Free Day (CFD) pada 22 Juni 2025.
Dalam laporannya, Abu menyampaikan Ngaji Budaya ini mengangkat dua pesan utama yang diharapkan mampu tersampaikan kepada masyarakat Indonesia melalui kegiatan ini, yaitu pesan tentang tradisi Muharram di Nusantara dan pentingnya kesadaran ekoteologis.
“Di berbagai daerah, masyarakat memperingati Muharram dengan ragam tradisi. Di Jawa misalnya, dikenal tradisi 1 Suro. Di Semarang, masyarakat mandi di sungai atau ‘adus kungkum’ sebagai bentuk permohonan energi dan semangat baru. Tradisi ini perlu digali kembali dan disinergikan dengan nilai-nilai keagamaan,” ujar Abu.
Ia menambahkan bahwa pesan ekoteologi pun penting untuk disampaikan, sebab dalam kearifan lokal kita dapat menemukan bentuk-bentuk peringatan lingkungan. “Dulu orang tua kita menakut-nakuti agar tidak mandi di danau karena ada ‘buaya putih’. Tapi sejatinya, itu adalah cara menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah eksploitasi alam,” paparnya.
Kegiatan ini dihadiri para penghulu, ASN Kemenag, serta disiarkan secara langsung melalui berbagai kanal media sosial resmi Kementerian Agama.
(Kontributor : Arif)