Bandarlampung – Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof KH Moh Mukri mengatakan bahwa dalam kehidupan yang penuh dinamika ini, kita dihadapkan pada beragam karakter, latar belakang, dan pola pikir. Maka menurutnya, mampu menahan amarah atau dalam Al-Qur’an disebut sebagai Kadiminal ghaid menjadi sebuah keharusan.
Ia pun mengutip QS. Ali ‘Imran ayat 134 yang artinya “Orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang menahan amarahnya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.”
“Ayat ini menggarisbawahi tiga pilar penting dalam hubungan sosial: kemurahan hati, pengendalian emosi, dan kemampuan memaafkan. Ketiganya menjadi syarat seseorang untuk dicintai Allah dan menjadi pelaku kebaikan sejati dalam masyarakat,” ungkapnya, Rabu (2/7/2025).
Dalam tradisi Jawa, menahan amarah ini dikenal dengan istilah ngempet, yaitu kemampuan menahan diri dari meledaknya emosi yang bisa merusak.
Seseorang yang mampu ngempet menunjukkan kematangan spiritual dan emosional. Ia tidak bereaksi secara impulsif, melainkan mempertimbangkan dampak sosial dari tindakannya.
“Orang yang baik itu orang yang bisa ngempet. Ngempet bukan merupakan perkara mudah. Apalagi dalam kehidupan plural yang menuntut kita berinteraksi dengan berbagai karakter. Namun, di situlah kemuliaan seorang mukmin diuji,” ujarnya.
“Menahan marah bukan berarti pasif terhadap ketidakadilan. Ngalah tidak berarti kalah, tetapi mengedepankan cara-cara santun dan penuh pertimbangan dalam menyelesaikan persoalan,” ungkapnya.
Seorang Muslim yang baik pun jelasnya, akan melakukan analisis sosial sebelum bertindak, memahami akar persoalan, konteks masyarakat, dan mencari solusi terbaik tanpa menimbulkan keretakan. Dalam masyarakat majemuk terangnya, sikap toleran adalah keniscayaan.
Toleransi bukan berarti melemahkan prinsip, tetapi kemampuan hidup berdampingan dengan damai tanpa saling menyakiti. Ini adalah bagian dari akhlak Islam yang luhur dan sangat relevan dalam kehidupan berbangsa.
“Islam mengajarkan keseimbangan, termasuk dalam berdakwah. Dakwah yang baik adalah yang memperhatikan konteks sosial dan tidak dilakukan secara berlebihan hingga menimbulkan resistensi,” ungkapnya.
Dalam Islam jelasnya, prinsip wasathiyah (moderat) bukan sekadar pilihan, tetapi bagian dari nilai luhur yang ditegaskan dalam Al-Qur’an dan diteladankan oleh Nabi Muhammad.
Umat Islam lanjutnya harus mampu menunjukkan bentuk nyata dari dakwah yang berprinsip rahmatan lil ‘alamin yakni membawa rahmat bagi seluruh alam, bukan sekadar umat Islam. Pendekatan seperti ini menjaga harmoni dan memperkuat citra Islam sebagai agama yang damai.
“Orang baik bukan hanya mereka yang tidak berbuat jahat, tetapi yang aktif terlibat dalam terselenggaranya kebaikan,” ungkapnya.
Ia pun mengingatkan bahwa dalam dunia yang penuh gejolak ini, jalan tengah adalah jalan para bijak. Kita tidak bisa menghindari perbedaan, tetapi kita bisa mengelolanya dengan kebesaran jiwa.
“Menahan amarah, mengedepankan toleransi, serta menjadi bagian dari kebaikan sosial adalah manifestasi nyata dari ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Maka benar adanya, sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan,” pungkasnya.
(Kontributor: Arif)