Cilegon – Wakil Ketua Komisi V DPR RI, Roberth Rouw, menegaskan pentingnya revisi Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 terkait Jalan, khususnya menyangkut persoalan kendaraan over dimension dan overloading (ODOL). Hal ini terkait dengan penindakan yang selama ini dianggap tidak adil kepada para sopir truk. Hal ini disampaikannya usai melakukan Kunjungan Kerja Spesifik ke Ruas Tol Jakarta–Tangerang–Merak di Cilegon, Banten, dalam rangka meninjau langsung pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) jalan tol.
Dalam pernyataannya, Roberth menyampaikan keprihatinannya terhadap nasib para sopir truk yang kerap menjadi pihak yang disalahkan dalam pelanggaran ODOL, padahal mereka hanya menjalankan tugas.
“Saya terus terang. Teman-teman para sopir truk, kita tidak sebut sopir ODOL, karena kasihan. Mereka itu cuma pekerja. Mereka hanya menjalankan perintah. Beban muatan itu ditentukan oleh pemilik barang, bukan kemauan sopir,” ujar Roberth di sela-sela kunjungan Komisi V di Cilegon, Banten, Kamis (26/6/2025).
Ia menyoroti bahwa dalam aturan yang berlaku saat ini, beban tanggung jawab hukum justru ditimpakan kepada sopir, termasuk sanksi denda yang dinilai memberatkan.
“Bayangkan, sopir yang cuma cari makan, bisa dikenakan sanksi Rp500 ribu. Ini tidak adil. Harusnya yang bertanggung jawab adalah pemilik barang dan pemilik kendaraan. Itu yang harus kena sanksi,” tegas Politisi Fraksi Partai NasDem ini.
Roberth menilai penanganan ODOL tidak cukup hanya mengandalkan sanksi di lapangan, tetapi perlu sistem pencegahan berbasis teknologi. Ia mengapresiasi langkah pengelola jalan tol yang telah mulai memasang sistem Weight In Motion (WIM), yaitu alat pendeteksi beban kendaraan otomatis, di titik-titik tertentu.
“Pemasangan WIM ini sudah bagus. Tapi jangan hanya di ujung jalan tol saja. Harusnya mulai dari titik awal kendaraan keluar, seperti kawasan industri atau pelabuhan. Kalau dari awal sudah terdeteksi melebihi batas, maka kendaraan itu tidak boleh jalan,” paparnya.
Roberth menekankan bahwa untuk menyelesaikan persoalan ODOL secara komprehensif, perlu perubahan regulasi. Menurutnya, revisi Undang-Undang Jalan sangat mendesak agar penindakan lebih tepat sasaran dan adil.
“Kalau mau serius menangani ODOL, Undang-Undangnya harus direvisi. Tidak bisa semua beban moral dan hukum diserahkan ke sopir. Mereka cuma pekerja. Kita harus lindungi mereka, dan hukum harus menyasar pemilik usaha yang sebenarnya bertanggung jawab,” tegasnya.
(Kontributor : Arif)