Penulis:
Kapten Inf Puguh Jatmiko (Pabung Kodim 0809/Kediri)
PB | Kediri – Ketika mengikuti kegiatan bersih desa, sekelebat ada suara yang sangat jelas di telinga yang ada di sekitar lokasi tersebut, dengan asumsi dan persepsi yang salah 100% tentang tradisi tersebut. Pada akhirnya ada pikiran untuk menjelaskan atau meluruskan yang sesungguhnya dan yang sebenarnya mengenai setiap tradisi-tradisi yang dijalankan dan dilakukan hingga saat ini.
Di tahun 1971 ,Y.B. Mangunwijaya pernah menulis tentang kesalahpahaman orang jawa masa kini dengan tradisi orang jawa kuno dalam suatu artikel yang dimuat media cetak, dan waktu itu langsung menjadi perdebatan ,yang puncaknya tulisan tersebut dipahami dengan pandangan yang beragam.
Keramat masa kini jelas jauh berbeda penafsirannya dengan arti kata keramat di masa lampau, karena bagi orang jawa kuno, dikatakan keramat bukan berarti tempat itu wingit (angker) atau disucikan, tetapi dianggap lebih tenang dan jauh dari keramaian, sehingga komunikasi antara “Yang Diciptakan” dengan “Yang Menciptakan” dianggap lebih lebih fokus (konsentrasi). Tempat yang digunakan untuk berkomunikasi tersebut, tidak diperkenankan orang lain masuk, karena dianggap milik pribadinya, dan tidak ada hubungannya dengan aroma mistik atau gaib, sebagaimana anggapan orang saat ini.
Agar tidak dirusak atau ditinggali orang lain, biasanya tempat tersebut diberi nama dan diberi tanda khusus atau lebih cenderung pada suatu peringatan, supaya siapa saja yang masuk ke tempat tersebut, terlebih dahulu meminta ijin kepada yang mempunyai tempat tersebut, bukan kepada penunggu atau jin yang mendiami tempat itu, sebagaimana penafsiran orang saat ini.
Mencomot tulisan dari A.Sugijapranata di tahun 1959, bahwa adat istiadat orang jawa kuno mengenal adanya tata krama yang mengarah pada istilah “permisi”, dan hal ini dipraktekan pada budaya “bersih desa”. Menurutnya ,di seluruh daratan pulau jawa ini, dulunya adalah hutan, kemudian adanya seseorang yang ingin tinggal, maka terlebih dahulu dia “babat alas” (menebang hutan), tetapi sebelumnya orang tersebut harus bertarung dengan penunggu tempat tersebut.
Berdasarkan tulisan-tulisan jawa kuno (asli bukan ditulis ulang dan sudah dirubah), sama sekali tidak disebutkan orang tersebut bertarung melawan sebangsa jin atau dedemit (setan), tetapi melawan sejenis binatang buas yang terlebih dahulu menempati tempat tersebut. Waktu terus berlalu dan pada akhirnya tempat itu ditempati juga oleh orang lain yang ingin menetap di tempat tersebut, dan orang yang pertama kali membuka lahan tempat tersebut meninggal karena dimakan usia, dan pada akhirnya orang tersebut dimakamkan.
Nah, tempat pemakaman itulah yang kemudian dijadikan orang-orang yang hadir sesudahnya, digunakan untuk mengucapkan terima kasih atas jasa dan budi baiknya membuka lahan. Tetapi adapula yang memang dulunya bukan pemakaman, karena kemungkinan orang yang membuka lahan pertama kalinya itu pindah tempat, dan bekas tempat tinggalnya atau tempat dia di waktu-waktu tertentu berdiam diri atau menyendiri, dijadikan acuan menentukan dimana saat-saat terakhirnya ia menetap.
Mengutip tulisan dari Kiai Sadrach di tahun 1922, tradisi “bersih desa” dalam konteks budaya jawa kuno yang sebenarnya, orang jawa kuno sama sekali tidak berdoa atau meminta sesuatu kepada penunggu pohon atau batu atau sejenisnya, melainkan kepada Tuhan, bahkan konteks “Ada Tapi Tidak Ada dan Tidak Ada Tapi Ada” sudah ada dalam pandangan mereka. Jadi sangatlah jelas bila yang dimaksud Tuhan oleh orang jawa kuno, bukan benda yang bisa dilihat manusia, seperti pohon atau batu atau sejenisnya.
Jadi sangat tidak relevan bila tradisi bersih desa dianggap tidak sejalan atau bertolakbelakang dengan nilai religi atau keyakinan seseorang, atau bahkan dengan “ketok palu” menganggap tradisi tersebut “sesat”, karena tradisi ini dihubung-hubungkan dengan sesuatu yang dianggap “menduakan” Tuhan. Dari sisi pandangan orang jawa kuno sendiri, mereka juga punya keyakinan, bahwa Tuhan adalah satu, sebagaimana penjabaran kata “Esa” yang tersemat pada KeTuhanan di masa lampau.
Budaya bangsa Indonesia adalah milik kita bersama, dan sudah sepantasnya dilestarikan secara terus menerus dari generasi ke generasi ,bukan malah diharamkan atau dikaitkan dengan “penyimpangan”. Karena masih banyak budaya – budaya lain ,selain tradisi bersih desa, yang kurang dimengerti sebab musabab atau asal muasalnya, dan langsung memveto secara sepihak dengan penilaian negatif apabila dihubungkan dengan suatu agama tertentu.
Dengan menghargai dan menghormati budaya yang ada di negeri ini, sama halnya menguatkan dan memperjelas identitas diri sendiri sebagai orang Indonesia yang hidup di negeri sendiri, bukan malah menjadi orang Indonesia yang hidup negeri lain.