oleh

Sejarah TNI Angkatan Udara

Tanggal 14 Agustus 1945 saat Jepang menyerah tanpa syarat pada Tentara Sekutu, Indonesia berada dalam keadaan vacum of power (tidak ada pemerintahan yang berkuasa) dan momentum itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Momentum kemerdekaan ini kemudian menjadi dasar seluruh Bangsa Indonesia untuk berjuang menjadi bangsa yang berdaulat melalui Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perjuangan itu, diawali dengan dibentuknya perangkat-perangkat organisasi negara dan aturan-aturannya, termasuk didalamnya angkatan perang sebagaimana layaknya suatu negara.

Cikal Bakal TNI Angkatan Udara

Penyelenggaraan dan penataan negara Indonesia diawali dengan pengesahan Undang-Undang Dasar serta pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945. Pada sidang berikutnya tanggal 22 Agustus 1945, PPKI menghasilkan tiga keputusan, salah satu diantaranya adalah pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bertugas menjaga terjaminnya keamanan dan ketertiban umum.

Pesawat_Cureng_AURI

Pesawat Cureng peninggalan Jepang merupakan salah satu satu modal berdirinya AURI

BKR merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) dan di dalam BKR ini terhimpun bekas anggota-anggota Peta, Heiho, Keisasutai (polisi), Seinendan, Keibodan, dan lain-lain. BKR inilah yang kemudian memimpin perebutan-perebutan kekuasaan sipil dan militer dari Jepang yang disesuaikan dengan bidang perjuangannya, sehingga dalam BKR itu sendiri terbentuk beberapa nama organisasi, seperti BKR Oedara, BKR Laut, BKR Kereta Api, BKR Pos, dan seterusnya.

BKR Oedara terbentuk di daerah-daerah pangkalan atau pusat-pusat unsur penerbangan yang berhasil direbut dan dikuasai, untuk selanjutnya menjadi basis dari kekuatan udara Indonesia saat itu, seperti di Pandanwangi (Lumajang), Bugis (Malang), Maospati (Madiun), Morokrembangan (Surabaya), Panasan (Solo), Kalibanteng (Semarang), Maguwo (Yogyakarta), Andir (Bandung), Cibeureum (Tasikmalaya), Jatiwangi (Cirebon), Cililitan (Jakarta), dan beberapa tempat di luar Pulau Jawa. Dalam perjuangannya, BKR Oedara memanfaatkan berbagai bermacam-macam jenis pesawat peninggalan Jepang, yaitu pesawat latih (Nishikoren, Cukiu, dan Cureng), pesawat pemburu (Hayabusha dan Sansikin), pesawat pembom (Guntei dan Sukai), pesawat pengintai (Nakajima), dan sebagainya.

Pesawat Cureng dengan tanda merah putih pertama

Pesawat Cureng beridentitas merah putih pertama terbang mengangkasa

Setelah pangkalan-pangkalan udara berhasil dikuasai, para perintis TNI Angkatan Udara selanjutnya dilakukan upaya-upaya merenovasi pangkalan-pangkalan tersebut dengan materil dan fasilitas yang ada agar dapat dipergunakan. Pada tanggal 26 Oktober 1945, teknisi Basir Surya berhasil memperbaiki dan menyiapkan pesawat Cureng buatan tahun 1933 di Pangkalan Udara Maguwo, yang kemudian diterbangkan A. Adisutjipto pada 27 Oktober 1945 mengelilingi lapangan terbang Maguwo selama 30 menit dengan identitas Merah Putih. Adisutjipto merupakan orang pertama yang berhasil menerbangkan pesawat terbang dengan tanda Merah Putih setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1945, Adisutjipto menerbangkan kembali pesawat Curen di atas alun-alun kota Yogyakarta, disaksikan langsung oleh masyarakat Yogyakarta. Selanjutnya pada 7 November 1945 di Pangkalan Udara Cibeurem Tasikmalaya, masih dibantu oleh ahli teknik Basir Surya, Adisutjipto berhasil menerbangkan pesawat Nishikoren buatan tahun 1938 yang diberi tanda pengenal Merah Putih mengelilingi Tasikmalaya selama 30 menit.

Keberhasilan menerbangkan pesawat-pesawat peninggalan Jepang  tersebut, berdampak pada adanya kebutuhan penerbang yang mendesak. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, maka bulan Desember 1945 mulai dirintis pendidikan calon penerbang secara darurat di Pangkalan Udara Maguwo yang dipimpin oleh A. Adisutjipto dengan mendirikan Sekolah Penerbang di Maguwo pada tanggal 15 Nopember 1945.

Terbentuknya TNI Angkatan Udara

Keberadaan BKR pada awal kemerdekaan merupakan korps pejuang bersenjata yang dimaksudkan untuk menjamin ketentraman umum sebagai pelopor dan pendorong roda perjuangan bersenjata diberbagai daerah, tanpa adanya komando yang terpusat. Walaupun dalam perjuanganya BKR mampu mengatasi perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kekuasaan dari tangan Jepang, namun setelah Sekutu dan NICA menunjukkan gejala kegiatan agresi militer, pemerintah menyadari pentingnya pembentukan tentara nasional untuk mengintegrasikan seluruh perjuangan rakyat Indonesia dalam suatu wadah tentara kebangsaan. Pada 5 Oktober 1945, Pemerintah RI mengeluarkan maklumat pembentukan tentara kebangsaan yang diberi nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan pimpinan tertinggi Supriyadi dan Kepala Staf Umum Mayor Oerip Soemohardjo, yang berkedudukan di Yogyakarta.

Pada 12 November 1945, di Yogyakarta untuk pertama kalinya TKR melaksanakan konferensi dihadiri oleh seluruh Panglima Divisi dan komandan-komandan resimen. Dalam konferensi tersebut, para peserta sepakat untuk mengembangkan kekuatan udara secepatnya, sehingga Kepala Staf Umum TKR Letnan Jenderal Urip Sumohardjo menyatakan tiga poin penting, yaitu :

  1. Dibentuknya bagian penerbangan dari Markas Tinggi (MT) TKR.
  2. Sejak 10 Desember 1945 semua bagian penerbangan di Indonesia, termasuk prajurit, pegawai, dan pangkalan serta alat-alatnya ditempatkan di bawah kepala penerbang.
  3. Kepala Penerbang berkedudukan di Markas Besar Umum. Kepala dan Wakil Kepala TKR Bagian Penerbangan ditetapkan masing-masing R. Soerjadi Soejadarma dan Sukarnen Martokusumo.

Dalam konferensi tersebut Kolonel Soedirman terpilih menjadi Pemimpin Tertingi TKR dan kemudian pada tanggal 18 Desember 1945, Soedirman ditetapkan sebagai Panglima Besar TKR. Dalam konferensi ini diambil suatu keputusan bahwa dalam waktu secepat-cepatnya, para Komandan Divisi melaksanakan pengelompokan materil dan personel yang mempunyai hubungan dengan tugas-tugas penerbangan untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam Markas Besar Umum di bidang Penerbangan.

Setelah keputusan konferensi TKR ditetapkan, pangkalan-pangkalan udara yang semula dikuasai Panglima Divisi diserahkan kepada MT TKR dan selanjutnya diserahkan kepada TKR Jawatan Penerbangan, yang bermarkas di Jalan Terban Taman No. 1 Yogyakarta, berseberangan dengan letak Markas Besar TKR. Kebijaksanaan pertama yang digariskan oleh Pimpinan TKR Jawatan Penerbangan adalah:

  1. Menyusun struktur organisasi.
  2. Mengangkat personalia untuk pengisian jabatan-jabatan teras.
  3. Mengadakan pendidikan penerbang /calon penerbang

Meskipun dalam keadaan serba kekurangan, namun semangat perintis TNI AU dalam membangun dan menyusun kekuatan udara Indonesia tidak pernah kendor. Pangkalan-pangkalan udara yang telah diserahkan kepada TKR Jawatan Penerbangan, mulai diperbaiki. Banyak lapangan terbang yang dalam keadaan terlantar, bahkan ada yang sudah dijadikan kebun oleh penduduk, sehingga tinggal landasannya saja. Selain itu juga harus dibentuk dinas-dinas yang belum ada, seperti dinas teknik, dinas perminyakan, dinas perhubungan, dinas pemberitaan cuaca, dan lain-lain. Semuanya ini memerlukan kerja keras dan dana yang banyak. Padahal saat itu kondisi ekonomi sangat sulit, ditambah lagi dengan adanya blokade ekonomi yang dilancarkan Belanda. Untuk mengatasi hal tersebut, TKR Jawatan Penerbangan mengadakan pemanggilan secara luas melalui media massa, terutama ditujukan kepada para mantan penerbang anggota Militaire Luchtvaart (ML), Marine Luchtvaart Dients (MLD), dan Vrliwillig Corps (WC), serta tenaga-tenaga yang pernah bekerja di penerbangan Jepang, seperti Rikugun Koku Butai, Kaigun Koku Butai dan Nanpo Koku Kabusyiki di samping para pemuda pejuang lainnya.

Untuk memenuhi kebutuhan penerbang yang terbatas, TKR Jawatan Penerbangan menyelenggarakan Sekolah Penerbang di Maguwo dengan menggabungkan pendidikan penerbangan di Pangkalan Udara Bugis Malang yang telah lebih dulu ada tapi masih bersifat kursus kilat. Sekolah Penerbang di Maguwo inilah yang selanjutnya menjadi Akademi Angkatan Udara (AAU) dan Akademi Penerbang Indonesia (API). Siswa-siswanya terdiri dari bekas siswa Aspirant Officer Kortvervand yang telah memiliki klein brevet, bekas siswa pendidikan Vrijwillige Vlieger Corps dan pemuda-pemudi lainya yang sama sekali belum pernah menerima pendidikan penerbang. Penggolongan siswa-siswa penerbang ini digolongkan sesuai dengan dasar pengetahuan yang mereka miliki:

  1. Pemuda yang pernah mengikuti pendidikan penerbangan dari pendidikan Aspirant Officier Kortverrnand Leerling-vlieger. Mereka ini telah memperoleh klien-brevet. Beberapa diantaranya bahkan sudah layak memperoleh “groot-brevet” tetapi karena situasi dan kondisi negara saat itu tidak memungkinkan, akhirnya mereka gagal memilikinya, mereka adalah Husein Sastranegara, H. Soejono, Aryono, Tugijo, Sunarjo dan Makmur Suhodo.
  2. Bekas siswa Aspirant Officier Leerling Vliegeryang belum pernah memperoleh brevet, seperti Mantiri dan lswahyudi.
  3. Bekas siswa yang pernah mendapat pendidikan di Vrijwiliger Vlieger Corps(VVC), yaitu suatu korps penerbang sukarela. Mereka adalah Imam Suwongso Wirjosaputro, Abdulrachman Saleh, dan lswahjudi.
  4. Pemuda-pemuda yang belum pernah mengikuti pendidikan penerbang sama sekali. Pendatang-pendatang baru calon kadet-kadet, antara lain yakni Suharnoko Harbani, Gunadi, Jusran, Fatah, Muljono, Sugoro, Wim Prajitno, Sutardjo Sigit, Darjono, Santoso, Bambang Saptoadji, Sun Harto, Suprapto, Endeng, Yulianto, Cokrohamiprojo, dan Sutopo.

Setelah diresmikan ber dirinya Sekolah Penerbang di Maguwo dan berkat bantuan para teknisi kita, para siswa penerbang dapat melakukan latihan-latihan, baik terbang Solo maupun terbang formasi. Latihan terbang formasi dan lintas daerah dilakukan di atas Yogyakarta, Semarang, Cilacap, Surakarta, Madiun, dan Malang yang dilakukan pada tanggal 15 April 1946 dengan pesawat-pesawat Cureng.

Pada 24 Januari 1946 Presiden Soekarno mendekritkan kembali perubahan nama TKR menjadi TRI, dan TRI Angkatan Udara ditetapkan tersendiri melalui Penetapan Pemerintah No : 6/S.D tanggal 9 April 1946, yaitu:

  1. Membentuk Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara.
  2. Memerintahkan kepada Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara tersebut untuk membentuk susunannya sendiri.
  3. Menetapkan Panglima Besar Tentara Republik Indonesia menjadi Pimpinan Tertinggi Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara tersebut.
  4. Mengangkat menjadi Kepala Staf Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara: R. SOERJADI SOERJADARMA.
  5. Menetapkan Pangkat Kepala Staf Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara menjadi KOMODORE UDARA (DJENDERAL MAJOR).
  6. Mengangkat menjadi Wakil Kepala Staf Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara: R. SOEKARNAEN MARTOKOESOEMO dengan pangkat KOMODORE UDARA (DJENDERAL MAJOR).
  7. Mengangkat menjadi Wakil Kepala Kedua Staf Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara : ADISOETJIPTO dengan pangkat KOMODORE MUDA UDARA (KOLONEL).

Melalui penetapan tersebut, TRI Angkatan Udara merupakan angkatan udara yang berdiri sendiri, sederajat dengan Angkatan Darat dan Angkatan Laut, tanggal 9 April kemudian diperingati sebagai hari jadi Angkatan Udara Republik Indonesia.

Kasau Surjadi Surjadarma

Kasau Komodor S. Soerjadarma sesaat setelah mendarat di Pangkalan Udara Maguwo

Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan dan latihan terbang dilaksanakan secara bersamaan dengan mengemban tugas negara. Pada tanggal 23 April 1946 tiga buah pesawat Cukiu tinggal landas dari Maguwo ke Kemayoran Jakarta, membawa rombongan terdiri dari Kasau Komodor Udara R. Soerjadi Soerjadarma dan Mayor Jenderal Soedibjo yang ditugaskan pemerintah untuk melakukan perundingan dengan Sekutu, dalam rangka pengembalian tawanan perang dan interniran Sekutu, Recovery of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI). Ketiga pesawat tersebut masing-masing dikemudikan oleh Komodor Muda Udara A. Adisutjipto, Opsir Udara 11 lswahjudi dan Opsir Udara 11 Imam Suwongso Wiryosaputro.

Hasil pendidikan mulai terlihat dan angkatan Udara mulai mengembangkan sayapnya. Sejumlah penerbangan dilakukan oleh beberapa pesawat dalam formasi, seperti penerbangan ke arah barat  dengan membawa Mayor Jenderal Soedibjo dan Komodor Soejadarma ke Jakarta. Penerbangan ke arah timur dilakukan oleh Opsir Udara 1 H. Soejono dan Komodor Halim Perdanakusuma. Mereka berhasil mencapai Pulau Madura dan mendarat di sebuah lapangan tempat pembuatan garam, karena lapangan terbang belum ada.

Pameran AURI di Yogyakarta tahun 1946

Pameran Kedirgantaraan di Pangkalan Udara Maguwo

Di sisi lain, untuk memperluas kesadaran udara (minat dirgantara) rakyat Indonesia, dilaksanakan pula kegiatan pameran dirgantara yang pertama berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 17 sampai dengan 18 Agustus 1946. Dua tahun kemudian, 17-22 Agustus 1948 acara pameran diadakan kembali di Solo, Madiun, Malang, Tasikmalaya, Kotagede, dan sebagainya. Pameran-pameran ini selalu mendapat perhatian masyarakat.

Latihan-latihan penerbangan tidak hanya dilakukan di Pulau Jawa saja, melainkan sampai ke luar Pulau Jawa. Pada tanggal 23 Juli 1946 diterbangkan dua buah Curen, masing-masing dikemudikan oleh Opsir Udara 11 Husein Sastranegara dan Kadet Udara Wim Prajitno dengan rute Maguwo-Gorda (Banten)-Karang Endah (Sumatera Selatan)-Maguwo. Peristiwa penerbangan cross country yang pertama kali tersebut kemudian disusul dengan terbang formasi dalam jumlah yang lebih besar.

Pada tanggal 27 Agustus 1946, dilakukan penerbangan cross country dari Maguwo menuju Branti, Sumatera Selatan kembali ke Maguwo dengan mengambil rute perjalanan melalui daerah Banten selatan. Penerbangan dilaksanakan secara formasi menggunakan 6 pesawat jenis Nishikoren, Cukiu, dan Curen. Selain melaksanakan terbang formasi, penerbangan ini juga bertujuan untuk mengadakan pemeriksaan terhadap pangkalan-pangkalan udara yang tersebar di wilayah tersebut.

Dalam perjalanan kembali ke Maguwo, dua pesawat mengalami kerusakan mesin. Pertama, pesawat yang dikemudikan oleh Opsir Udara II lswahjudi yang juga ditumpangi komodor Udara Soerjadi Soerjadarma. Kerusakan mesin tersebut menyebabkan pesawat harus melakukan pendaratan darurat di pantai Pameungpeuk, daerah Garut Selatan, Jawa Barat. Dalam pendaratan darurat tersebut, keduanya selamat, namun Soerjadi Soerjadarma mengalami luka-luka ringan.

Sedangkan Pesawat lainnya yang mengalami kerusakan, diawaki Komodor Udara Agustinus Adisutjipto dan Opsir Udara II Tarsono Rudjito. Hingga Adisutjipto harus melakukan pendaratan darurat di pantai Cipatujah, Tasik Malaya, Jawa Barat  Ketika melakukan pendaratan darurat dalam kecepatan yang cukup tinggi, roda pesawat membentur sebatang pohon kelapa yang letaknya melintang hingga pesawat jatuh dengan posisi terbalik. Adisutjipto berhasil menyelamatkan diri, namun Tarsono Rudjito terlempar ke luar pesawat dan mengalami patah tulang punggung hingga akhirnya meninggal dunia. Opsir Udara II Tarsono Rudjito merupakan korban pertama dari Angkatan Udara Republik Indonesia dalam menjalankan tugasnya. Jenasahnya dimakamkan di Salatiga pada tanggal 13 September 1946 dengan upacara penghormatan tabur bunga dari udara melalui pesawat Curen yang dikemudikan Opsir Udara II lswahjudi dengan penumpang Opsir Muda Udara Husein Sastranegara, Opsir Udara Rasjidi, serta satu orang juru potret.

Sementara itu blokade udara oleh Belanda terus berlangsung dan menjadi tantangan berat. Hal ini mustahil dapat diterobos bila hanya mengandalkan pada kemampuan pesawat-pesawat peninggalan Jepang yang bermotor tunggal dan terbatas kekuatannya. Tidak ada jalan lain kecuali memungkinkan masuknya pesawat-pesawat yang lebih besar kekuatan dan jarak terbangnya. Untuk itu dilakukan upaya-upaya diplomasi menarik simpati dunia luar agar bersedia mengadakan hubungan kerjasama dengan negara RI. Setelah beberapa misi dikirim, usaha tersebut menunjukkan hasilnya pada awal tahun 1947. Pada tanggal 7 Maret 1947 pesawat terbang pertama dari perusahaan CALI [Commercial Airlines Incorporatiori) mendarat di Maguwo.

Pesawat CALI

Maskapai penerbangan asing CALI mendarat di Pangkalan Udara Maguwo

Kemudian disusul dengan pesawat-pesawat asing lainnya dari pesawat-pesawat seperti Cathay Pacific Airways, South Eastern Airways, Pacific Overseas Airways ofSiam (POAS), Kanga Airlines dan sebagainya. Selain itu beberapa pesawat asing secara perorangan disewa oleh RI untuk kepentingan nasional. Dengan upaya ini blokade udara dapat diatasi sekaligus dapat membentuk hubungan udara dengan daerah-daerah di Sumatera sampai Aceh. Meskipun penerbangan-penerbangan tersebut tidak semuanya merupakan perhubungan udara tetap, kemajuan di bidang politik dapat dicapai karena dunia luar dapat mengetahui lebih banyak tentang keberadaan dan perjuangan bangsa Indonesia. Jalur penerbangan luar negeri ini kemudian digunakan untuk kepentingan diplomasi termasuk kunjungan perwakilan-perwakilan asing. Angkatan Udara Republik Indonesia yang baru lahir terus diuji ketangguhannya menghadapi tekanan Belanda yang terus berusaha untuk mengembalikan Indonesia menjadi negara jajahannya. Namun tetap meneruskan tugasnya dengan penuh semangat juang.

Dalam bulan Juni 1948, selama satu bulan Presiden Soekarno mengadakan perjalanan keliling Sumatera dalam rangka membangkitkan semangat rakyat untuk membangun kekuatan angkatan udara. Presiden menggunakan Rl-002 yang dikemudikan oleh pemiliknya sendiri, Robert Earl Freebeg, di mana-mana rakyat menyambutnya dengan penuh antusias. Bahkan rakyat Aceh dengan sukarela berhasil mengumpulkan dana untuk membeli sebuah pesawat Dakota. Pesawat yang diserahkan kepada Pemerintah itu diberi nama “Seulawah”, dalam bahasa daerah Aceh memiliki arti “Gunung Emas”. Dikemudian hari ketika Belanda melancarkan aksi militer kedua, pesawat yang diberi nomor sandi Rl-001 itu menjalankan misi charter flight di Burma. Hasil dari misi tersebut digunakan untuk membantu perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan, juga menjadi modal pokok pembangunan perusahaan penerbangan sipil pertama “flag carrier”, Garuda Indonesian Airways dan membantu para kadet penerbang yang belajar di India.

(Sumber : https://tni-au.mil.id)

Bagikan

Baca Juga