Bekasi – Menjadi siswa Sekolah Rakyat bagai sebuah keajaiban bagi Sifan Alyori (16). Doa sang ibu diyakini membuatnya lolos demi melanjutkan pendidikan serta meraih cita-cita menjadi dokter bedah orthopedi.
“Katanya saya hampir tidak lolos, tapi alhamdulillah akhirnya bisa dan saya bahagia banget. Bisa lanjutkan cita-cita saya untuk sekolah lagi dan suatu hari masuk perguruan tinggi,” tutur Sifan saat ditemui di Sentra Terpadu Pangudi Luhur (STPL) Bekasi. Sabtu (20/9)
Momen pertama kali masuk Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 13 Bekasi, Jawa Barat pada 14 Juli lalu masih terpatri jelas dalam ingatannya. Ia datang ditemani ibunya dengan naik angkutan umum.
Sejak kecil, Sifan tumbuh bersama sang ibu di kawasan Jakasampurna, Bekasi Barat. Ayahnya meninggal ketika ia baru berusia empat bulan. Ibunya pun menjadi satu-satunya penopang keluarga meskipun sedang berjuang melawan kanker perut ganas.
“Kadang Ibu mencari pekerjaan dari rumah orang. Kalau ada yang butuh bantuan bersih-bersih, Ibu kerjakan. Jadi serabutan, apa saja yang ada,” kata Sifan.
Di tengah keterbatasan itu, ia turut membantu sebisanya di rumah. Tak lupa ia menyempatkan waktu untuk belajar dan membaca buku-buku pinjaman dari sekolah. Semangatnya untuk melanjutkan pendidikan membawanya mengenal Sekolah Rakyat, program yang digagas Presiden Prabowo Subianto melalui Kementerian Sosial.
“Saya kaget saat pertama kali pas dibilang sekolah ini tidak berbayar. Karena sebelumnya ada sekolah lain yang biaya masuknya besar, sementara saya dan ibu kurang mampu. Jadi hadirnya Sekolah Rakyat itu seperti jawaban doa,” ungkap Sifan.
Namun, sang ibu sempat diliputi rasa ragu. Baginya, terdengar hampir mustahil ada sekolah gratis tanpa biaya sepeser pun, apalagi masih ditambah dengan berbagai fasilitas unggulan yang biasanya hanya bisa ditemui di sekolah berbayar.
“Awalnya ibu mikir-mikir, kayak ini beneran enggak? Kayak terlalu ajaib ada sekolah gratis. Saya yang meyakinkan ibu sampai akhirnya setuju,” kata Sifan.
Keyakinannya muncul karena ia bermimpi menjadi dokter bedah orthopedi. Ia sudah menimbang-nimbang jalur pendidikan tinggi, antara dalam negeri maupun luar negeri.
“Kalau di luar negeri saya ingin ke Universitas Yonsei, Korea kalau di Indonesia mungkin UI atau UGM,” katanya penuh tekad.
Ia sadar, jalan menuju impian itu panjang, apalagi kondisi ekonomi keluarganya kerap membuatnya berpikir realistis.
“Kalau tidak masuk Sekolah Rakyat, mungkin saya berhenti setahun, kerja dulu untuk kebutuhan sehari-hari dan kumpulin uang buat sekolah. Saya pernah bantu-bantu markir, jadi tukang cuci piring, jualan es, pokoknya apa saja yang bisa dilakukan,” ungkap Sifan.
Di balik semua cerita perjuangannya, Sifan menaruh harapan besar.
“Harapan untuk diri saya sendiri tuh tetap bertahan, harus disiplin, semangat belajar, dan terus menggapai cita-cita,” katanya tegas.
Ia juga berdoa agar sang Ibu sehat, panjang umur, dan bisa melihatnya sukses.
“Saya ingin bisa membahagiakan Ibu dan suatu saat membawa beliau ke Tanah Suci.”
Cerita Sifan adalah potret nyata bagaimana program Sekolah Rakyat yang digagas Presiden Prabowo bukan sekadar ruang belajar, melainkan pintu harapan bagi anak-anak bangsa untuk meraih cita-cita, meski jalan yang mereka tempuh penuh liku.
Dengan target berdiri di 165 titik pada 2025 dan menampung hingga lebih dari 15.000 siswa, program ini lahir dari keyakinan bahwa setiap anak berhak atas masa depan yang lebih baik, tanpa terkendala oleh garis kemiskinan.
(Kontributor: Arif)