oleh

Menggali Akar Krisis Bangsa, Seruan Moral dari Tokoh Muda NU Solo

Surakarta – Indonesia kini seolah sedang berada di tengah pusaran krisis multidimensi. Di berbagai lini kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan politik bermunculan persoalan yang menguji keutuhan bangsa. Rasa saling percaya kian memudar, semangat gotong royong yang dulu menjadi ciri khas masyarakat Nusantara pun makin jarang terlihat.

Di tengah situasi ini, tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) asal Solo, RT Sudrajat Dwijodipura, mengingatkan pentingnya kembali pada akar nilai bangsa: Pancasila, sejarah, dan moral kebersamaan.

“Krisis multidimensi muncul karena hilangnya kepercayaan rakyat terhadap sistem yang ada,” ujarnya. Kamis (23/10)

“Kita seperti kereta api yang kehilangan arah. Pemimpin harus menjadi masinis yang kuat, karena jika tidak, bangsa ini akan keluar dari relnya.”

Menurutnya, berbagai masalah yang dihadapi bangsa sekarang bukan sekadar peristiwa spontan, melainkan akibat dari warisan persoalan masa lalu yang tak pernah benar-benar diselesaikan. Ditambah derasnya arus informasi di internet dan media sosial yang sering memelintir fakta, masyarakat makin mudah terpecah oleh isu SARA dan politik kepentingan.

Kehilangan Ideologi dan Pudarnya Gotong Royong

RT Sudrajat menilai, akar dari krisis ini adalah memudarnya ideologi bangsa. “Indonesia adalah negara kepulauan yang disatukan oleh Pancasila. Bila ideologi itu goyah, maka persatuan ikut retak,” tegasnya.

Ia mengkritik keras praktik politik yang semakin menjauh dari nilai dasar tersebut. Banyak partai, katanya, hanya menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai formalitas dalam anggaran dasar partai, bukan sebagai pedoman moral dan arah kebijakan.

“Kalau semua partai berpijak pada Pancasila, tak ada kebijakan yang menyakiti rakyat. Partai adalah gerbong-gerbong dalam satu kereta yang sama, harus searah dengan lokomotif bangsa. Kalau tidak sejalan, lebih baik dilepaskan,” ujarnya lugas.

Di sisi lain, ia juga menyoroti semakin maraknya korupsi, pungli, dan perilaku individualistik. Fenomena ini, menurutnya, menunjukkan lunturnya hati nurani dan kepedulian sosial.

“Dulu orang tua kita menanam pohon bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk anak cucunya. Sekarang banyak yang menebang tanpa berpikir masa depan,” ujarnya.

Pelajaran dari Sejarah Nusantara

Sebagai bangsa besar, Indonesia memiliki warisan sejarah luar biasa yang semestinya menjadi sumber inspirasi moral dan kebijakan. RT Sudrajat mencontohkan pembangunan Candi Borobudur pada abad ke-7 yang berlangsung lebih dari setengah abad lintas generasi.

“Konsistensi kebijakan kala itu menunjukkan kedewasaan berpikir bangsa Nusantara. Kita harus belajar dari sana—membangun bangsa butuh arah, haluan, dan kesinambungan,” katanya.

Karena itu, ia menyerukan agar pemerintah memiliki *haluan negara* yang jelas di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik semuanya berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Penguatan sejarah juga mutlak diperlukan untuk mengembalikan ingatan generasi muda terhadap jati diri bangsa.

Membangun Generasi Baru, Pendidikan Sebagai Kunci

Sudrajat menegaskan, pendidikan adalah kunci utama untuk keluar dari krisis multidimensi. Namun pendidikan, menurutnya, harus memiliki arah yang berkesinambungan hingga dua generasi ke depan.

“Kurikulum dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi harus menanamkan nilai-nilai moral Pancasila dan spiritualitas Nusantara,” tuturnya.

Ia mengapresiasi langkah pemerintah dalam membangun Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda sebagai upaya mencetak generasi berkarakter dan berkepribadian. Namun, ia menyarankan agar upaya itu dilengkapi dengan pendidikan usia dini berbasis nilai kebangsaan, sehingga pembentukan karakter dimulai sejak awal.

Selain di bidang pendidikan umum, ia juga menekankan pentingnya sekolah partai yang sejatinya berfungsi memperkuat ideologi kebangsaan, bukan sekadar mencetak kader untuk kepentingan politik praktis.

Menatap Masa Emas Nusantara

Sebagai penutup, RT Sudrajat mengutip ajaran para pujangga agung tanah Jawa, seperti Jayabaya dan Ronggowarsito, yang meramalkan datangnya masa keemasan Nusantara.

“Ramalan itu bukan mitos. Tapi tidak akan terwujud tanpa kerja keras dan kesadaran moral kita sebagai bangsa,” ujarnya.

Ia menegaskan, membangun kejayaan Nusantara bukan sekadar soal infrastruktur dan ekonomi, melainkan juga membangun karakter dan akhlak.

“Jika kita ingin menuju gemah ripah loh jinawi, maka yang harus kita benahi terlebih dahulu adalah moral dan perilaku kita sehari-hari,” pungkasnya.

(Kontributor: Widyo)

Bagikan