Jakarta – Anggota Komisi VI DPR RI Asep Wahyuwijaya menegaskan pentingnya revisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen agar lebih relevan dalam menjawab tantangan zaman, serta benar-benar mampu melindungi hak warga negara sebagai konsumen. Hal ini menjadi sorotannya lantaran ia prihatin adanya ketidaksesuaian antara UU Perlindungan Konsumen yang berlaku saat ini dengan dinamika kebutuhan masyarakat.
“Saya berpikir, perlindungan konsumen itu semestinya perlindungan terhadap warga negara, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dari barang dan jasa yang dikonsumsi,” ujar Asep dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Kerja (Panja) RUU Perlindungan Konsumen Komisi VI DPR RI dengan Prof. Dr. Rizal Edy Halim, Dr. Henny Marlyna, S.H., M.H., M.LI. dan Prof. Andri Wibisono, S.H., LL.M. dalam konteks penyampaian masukan terhadap naskah akademik dan materi substansi RUU Perlindungan Konsumen di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (30/4/2025).
Dirinya menilai, banyak kasus menunjukkan lemahnya posisi konsumen dalam sistem yang ada. Ia mencontohkan kasus minuman keras ilegal, makanan berbahaya bagi anak, hingga peredaran produk dengan kandungan gula berlebih tanpa pengawasan ketat.
“Kasus-kasus seperti ini terus berulang. Ini menunjukkan regulasi yang ada belum cukup menjamin perlindungan konsumen secara menyeluruh,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan adanya kesan bahwa UU Perlindungan Konsumen lebih berpihak pada pelaku usaha ketimbang konsumen. Hal itu ia kutip dari pernyataan seorang perwakilan pelaku usaha di Jakarta yang menyebut undang-undang ini justru melindungi pelaku usaha.
“Ini melegitimasi kecurigaan saya di awal. Bahwa mediasi dan solusi teknis di lapangan memang tidak maksimal, bahkan seringkali pelaku usaha besar mudah menghindar dari tanggung jawab,” ujar Asep.
Politisi Fraksi Partai NasDem itu juga menyoroti perlunya harmonisasi antara UU Perlindungan Konsumen dengan UU Pemerintahan Daerah, khususnya terkait keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang saat ini hanya ada di tingkat provinsi. Padahal, menurutnya, idealnya lembaga tersebut hadir di tiap kabupaten/kota.
Sebagai solusi, ia mendorong adanya kajian komparatif dengan regulasi di negara lain dan penyusunan naskah akademik baru yang lebih progresif.
Menutup pernyataan, ia berharap pembaruan regulasi ini bisa menghadirkan sistem perlindungan konsumen yang tidak hanya berbasis teks, tapi juga relevan dengan kondisi riil dan berpihak pada kepentingan publik.
“UU ini harus menjadi manifestasi nyata bahwa negara hadir untuk melindungi hak-hak warganya sebagai konsumen,” pungkas Asep.
(Kontributor : Arif)