Salatiga – Semarak budaya dalam rangka Dies Natalis Perak Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi (FISKOM) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) diwarnai gelaran spesial melalui Talkshow bersama budayawan Sujiwo Tejo dan Rektor UKSW Profesor Intiyas Utami, Senin (21/04/2025) malam.
Acara yang dimoderatori oleh Didik Supriadi, S.Pd., M.Pd., Dosen Fakultas Bahasa dan Seni UNNES, merupakan bagian dari helatan budaya Parade dan Launching Wastra Nusantara “Senja Seribu Wastra Nusantara di Salatiga”, peringatan tiga momen penting: Dies Natalis FISKOM, Hari Kartini, dan Hari Bumi.
Talkshow ini hadir setelah Parade Senja Wastra Nusantara yang melibatkan 1.527 peserta dari kalangan mahasiswa, komunitas budaya, dosen, tenaga kependidikan, dan masyarakat umum. Parade tersebut tak hanya menorehkan sejarah bagi kampus Indonesia Mini ini, tetapi juga mencatatkan rekor baru sebagai “Parade Senja Wastra Nusantara Peserta Terbanyak” dari Lembaga Prestasi Indonesia Dunia (LEPRID) dengan nomor rekor 901.
Selain talkshow, acara juga dirangkai dengan launching Komunitas Wastra Nusantara di Salatiga oleh Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kota Salatiga Retno Margiastuti Robby Hernawan, S.E., dan pembacaan Ikrar oleh Dr. Ir Arianti Ina R. Hunga, M.Si., fashion show, serta penampilan Teater Semut Geni yang turut menggandeng Sujiwo Tejo sebagai simbolisasi komitmen Wastra Nusantara dalam bentuk goresan canting di kain putih.
Dalam talkshow yang digelar usai parade, Rektor Intiyas menyampaikan refleksi mendalam mengenai makna wastra sebagai entitas yang melampaui fungsi materialnya.
“Wastra bukan sekadar kain, tetapi ageman yang penuh makna dan doa. Setiap helainya adalah karya spiritual, hasil penghayatan, dan cinta ibu kepada anak-anaknya,” ujar Rektor Intiyas dengan suara lembut yang menggetarkan suasana.
Ia mengisahkan bagaimana sejak awal berdirinya UKSW pada tahun 1956, kampus ini dibangun di atas tanah yang membawa harapan kurang lebih 125 mahasiswa pertama dari seluruh nusantara, yang salah satu bekalnya adalah kain pemberian sebagai simbol leluhur.
“Kain itu bukan hanya bekal, tapi juga doa dari ibu, dari tanah asal mereka, dari warisan budaya kita yang paling luhur,” lanjutnya.
Dengan sekitar 16.000 mahasiswa saat ini, UKSW dinilainya sebagai titik temu peradaban, di mana wastra menjadi simbol keberagaman dan persatuan.
Rektor Intiyas menegaskan bahwa UKSW, sebagai kampus yang merepresentasikan Indonesia Mini, tidak hanya hadir sebagai lembaga akademik, tetapi juga sebagai pelestari dan penggerak warisan budaya bangsa.
“Wastra bukan produk industri, tapi produk jiwa. Maka ia harus dirawat, dihidupi, dan digaungkan, terutama di tempat di mana peradaban dibentuk yaitu di kampus,” tutupnya.
Sebagai seorang akademisi yang tumbuh dari keluarga pendidik, pelukis, dan sastrawan Jawa, Rektor Intiyas juga mengutip tembang “Sekar Kinanthi” karya Ki Ronggo Warsito sebagai pengingat bahwa perjalanan bangsa ini harus dijaga melalui tradisi dan kebudayaan, termasuk lewat wastra.
Refleksi Lewat Budaya
Sujiwo Tejo, dalam gaya khasnya yang puitis dan kritis, turut menegaskan pentingnya kembali kepada akar budaya.
“Masa depan Indonesia ada pada seluruh kebijakan dan kearifan lokal, herbal, batik, matematika, dan lainnya. Kalau matematika ditemukan di Indonesia, pasti matematika itu batik, karena batik itu ketidakteraturan yang teratur,” tuturnya.
Menurutnya, mahasiswa tidak harus selalu turun ke jalan untuk menunjukkan sikap kritis.
“Di UKSW ini, saya melihat mahasiswa yang berpikir kritis tanpa perlu ramai. Budaya punya jalannya sendiri,” ujar pria yang telah menuangkan daya kritisnya ke dalam desain 14 lembar kain sarung yang dikenakan mahasiswa UKSW, yang turut mengiringi nyanyian sepanjang acara berlangsung.
Ia menutup refleksinya dengan menyentuh persoalan cinta yang dalam: “Cinta sejati adalah memberi tanpa syarat. Seperti ibu yang menitipkan doa dalam selembar kain untuk anak-anaknya.”
Dalam talkshow ini, pernyataan Rektor Intiyas tentang wastra sebagai simbol budaya yang melampaui fungsi materialnya sejalan dengan pandangan Sujiwo Tejo tentang pentingnya kembali ke akar budaya Indonesia. Rektor Intiyas menegaskan bahwa wastra adalah produk jiwa, bukan sekadar kain, yang sarat dengan doa dan makna spiritual. Sujiwo Tejo pun menambahkan bahwa masa depan Indonesia terletak pada kearifan lokal dan budaya, seperti batik dan wastra, yang harus dijaga dan dipelihara. Keduanya mengajak kita untuk melihat budaya sebagai kekuatan yang mempersatukan dan memberikan arah bagi peradaban bangsa.
Bangga Dengan Budaya
Talkshow bersama Sujiwo Tejo dan Rektor Intiyas meninggalkan kesan mendalam bagi Rosella Sedna, mahasiswi Ilmu Komunikasi FISKOM UKSW. Ia melihat wastra sebagai warisan budaya yang mencerminkan kisah hidup dari berbagai daerah, dan sejalan dengan pesan Rektor, Rosella menegaskan pentingnya generasi muda untuk mulai mengenakannya.
“Kalau kita tidak mulai memakainya dari sekarang, nanti siapa?” ujarnya.
Senada dengan itu, Laura Halim dari Program Studi Ilmu Komunikasi FISKOM melihat setiap wastra memilki makna yang berbeda. Seperti yang disampaikan Rektor Intiyas, sejak lahir hingga akhir hayat, manusia selalu bersentuhan dengan wastra yang diwariskan dari generasi ke generasi.
“Di dalamnya ada doa, ada harapan. Maka, meski budaya asing terus masuk, kita harus tetap bangga dengan budaya kita sendiri,” tutupnya.
Sementara itu, Ivana Christine Kafiar dari Program Studi Hubungan Internasional FISKOM menyampaikan acara ini sangat berkesan, terutama saat Sujiwo Tejo mendalang dan menjawab dengan nyinden.
“Saya benar-benar terkagum pada kekayaan budaya Indonesia,” ujar mahasiswa asal Papua ini.
Sementara itu, Sharon I. M. Tidore dari Program Studi Ilmu Komunikasi FISKOM mengungkapkan,
“Saya senang dapat terlibat dalam penampilan. Sujiwo Tejo memberikan banyak perspektif baru tentang seni, ekspresi, dan makna di balik setiap lagu yang dibawakannya,” katanya.
Talkshow yang menjadi panggung budaya yang mengalirkan nuansa lokal dan bentuk bela negara ini menjadi bukti nyata bahwa UKSW terus mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) ke-4 pendidikan berkualitas, ke-16 perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh, serta ke-17 kemitraan untuk mencapai tujuan.
Sebagai Perguruan Tinggi Swasta (PTS) terakreditasi Unggul, UKSW telah berdiri sejak 1956 dengan 15 fakultas dan 64 program studi di jenjang D3 hingga S3, dengan 28 Prodi Unggul dan A. Terletak di Salatiga, UKSW dikenal dengan julukan Kampus Indonesia Mini, mencerminkan keragaman mahasiswanya yang berasal dari berbagai daerah. Selain itu, UKSW juga dikenal sebagai “Creative Minority” yang berperan sebagai agen perubahan dan inspirasi bagi masyarakat.
(Soleh|red)