Jakarta – Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan bencana, baik itu bencana alam, non-alam, maupun sosial. Karena itu, Pusat Krisis Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI berkomitmen menyelenggarakan pelatihan Bantuan Hidup Dasar (BHD) untuk orang awam, sebagai upaya meningkatkan ketahanan kesehatan dan kesiapsiagaan terhadap situasi darurat medis.
“Jadi, setelah COVID-19 kemarin, indeks risiko bencana kita cukup besar. Ada 10 program prioritas Kemenkes melalui transformasi kesehatan, salah satunya pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dalam rangka bagaimana dia bisa membantu menangani risiko terhadap terjadinya bencana alam dan non alam maupun sosial,” kata Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes RI Dr. Sumarjaya, SKM, M.M, MFP, C.F.A saat Kegiatan Pelatihan Bantuan Hidup Dasar (BHD) Bagi Orang Awam di Menara Mega Syariah, Jakarta Selatan (13/08).
Kegiatan ini merupakan yang pertama kali dilakukan. Melalui pendekatan langsung (door to door), Sumarjaya berharap pelatihan ini dapat berkelanjutan dan sosialisasi BHD dapat menjangkau masyarakat luas, terutama perusahaan, hotel, mal, dan kantor kementerian/lembaga lainnya.
Kontribusi dari setiap individu sangat diharapkan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan. Hal ini karena upaya pelayanan kesehatan tidak hanya menjadi tanggung jawab tenaga kesehatan, tetapi masyarakat juga perlu memahami cara memberikan pertolongan pertama saat terjadi masalah kesehatan. Dengan sentuhan kecil, masyarakat diharapkan dapat menyelamatkan nyawa.
Seringkali, ketika menemukan seseorang dalam situasi gawat, orang di sekitar cenderung panik dan langsung berpikir membawa korban ke rumah sakit. Sayangnya, tidak banyak orang yang memikirkan bagaimana agar korban selamat sebelum tiba di rumah sakit untuk mendapatkan penanganan maupun pengobatan, sehingga korban dapat lebih cepat terselamatkan.
Sumarjaya mencontohkan tragedi Kanjuruhan, Jawa Timur, pada 2022. Tidak ada satupun pertolongan pertama yang diberikan, baik oleh rekan sejawat, petugas keamanan, petugas kebersihan, maupun lainnya. Ia membandingkannya dengan tragedi Itaewon, Seoul, yang terjadi tidak lama setelah Kanjuruhan. Saat kejadian itu, banyak orang di sekitar korban yang memberikan Resusitasi Jantung Paru (RJP).
Kemudian, kematian pemain bulu tangkis China, Zhang Zhijie, pada akhir Juni lalu juga menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Jaya sangat menyayangkan kejadian ini dan menekankan pentingnya kemampuan pertolongan pertama.
Kondisi darurat medis terbagi menjadi dua, yaitu pra-rumah sakit (pre-hospital) dan di rumah sakit (hospital). Pertolongan di rumah sakit bersifat kuratif, seperti pengobatan, perawatan, dan pemulihan. Sementara itu, pertolongan pra-rumah sakit bertujuan mempertahankan agar pasien tetap hidup saat menghadapi situasi berisiko.
“Nah, kita lakukan ini. Jadi, itu tugas kita, bagaimana kita bisa membantu tetangga dan teman. Dengan harapan, kami dapat menyosialisasikan bagaimana caranya membantu dalam kondisi darurat medis. Ini kasus nyata yang ada di lapangan,” kata Jaya.
Pelatihan Bantuan Hidup Dasar ini dirancang untuk membekali peserta dengan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan dalam menangani situasi darurat medis, seperti henti jantung mendadak, tersedak, atau pingsan. Para peserta dilatih oleh tenaga medis profesional yang berpengalaman dalam teknik Resusitasi Jantung Paru (RJP), penanganan saluran napas yang tersumbat, dan penggunaan Automated External Defibrillator (AED).
Pelatihan ini juga merupakan bagian dari inisiatif berkelanjutan Pusat Krisis Kesehatan untuk memperluas jangkauan pelatihan kesehatan di seluruh Indonesia. Dengan melibatkan semua provinsi dan bekerja sama dengan 11 Regional Pusat Krisis Kesehatan, kegiatan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif yang luas, tidak hanya dalam konteks pelatihan individual, tetapi juga dalam meningkatkan kesiapsiagaan komunitas secara keseluruhan. (Red/Arif)