Jakarta, — Usulan temuan hasil ekspedisi Jalacitra-I Aurora yang dilaksanakan TNI AL dengan menggandeng Kementerian, lembaga dan universitas dibidang hidrografi, geodesi, geologi, oseanografi, meteorologi serta kelautan dan perikanan yang dilaksanakan beberapa waktu lalu di Laut Halmahera dan Laut Banda, berbuah manis. Delapan nama fitur bawah laut yang diusulkan pada Sidang ke-35 Sub-Committee on Undersea Feature Names (SCUFN) di UNESCO, Paris, Prancis disetujui.
TNI-Angkatan Laut dalam hal ini Pusat Hidro-oseanografi TNI AL (Pushidrosal) merupakan representasi Pemerintah RI di kancah Internasional dalam bidang hidrografi mengirimkan delegasinya untuk mengikuti pertemuan SCUFN di UNESCO, Paris, Prancis 14 hingga 18 Maret 2022 yang juga diikuti 15 negara anggota IHO, Sekretariat IHO dan IOC-UNESCO serta para ahli terkait dari seluruh dunia.
Pertemuan ini diselenggarakan dalam rangka sidang penetapan nama fitur bawah laut yang diajukan oleh Indonesia dari hasil Ekspedisi Jalacitra-I Aurora Tahun 2021. Pembakuan nama akan dimasukkan dalam database UNESCO agar fitur tersebut memiliki nama resmi yang diakui dunia, dan tercatat merupakan sumber daya geografis milik bangsa Indonesia.
Komandan Pushidrosal Laksamana Madya TNI Nurhidayat menyampaikan bahwa pengajuan pembakuan nama fitur bawah laut ini merupakan yang pertama kalinya oleh Indonesia dimana Pushidrosal merupakan focal-point yang terkait dengan hidrografi di lembaga internasional dalam hal ini International Hydrographic Organization (IHO).
Delegasi Indonesia dipimpin Kepala Dinas Pemetaan Pushidrosal Kolonel Laut (P) Dr. Oke Dwiyana yang menyampaikan pentingnya data penamaan fitur bawah laut ini sebagai bentuk dasar laut tersebut yang sesuai dengan bentuk struktur topografi yang ada untuk memberikan arti penting sebuah lokasi atau tempat sebagai sarana aktifitas di laut seperti keselamatan pelayaran, perlindungan lingkungan laut, ekonomi, kewilayahan, sejarah, bahkan politis.
Sidang SCUFN ini dipimpin oleh Dr. Hyun Chul Han dari The Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC) dan Dr. Ohara dari International Hydrographic Organisation, beserta 10 anggota dewan yang merupakan perwakilan dari IOC dan IHO.
Pada kesempatan ini, selain Indonesia, terdapat beberapa negara yang juga melakukan submisi penamaan fitur bawah laut seperti: Amerika Serikat, Filipina, Jerman, Korea Selatan, China, Selandia Baru, Vietnam, Malaysia, Jepang, dan Brazil.
Setelah melalui serangkaian sidang, sidang SCUFN di Markas Besar UNESCO-Paris tersebut menyetujui 8 Nama fitur bawah laut usulan Indonesia, sesuai dengan Publikasi IHO B-6 Standardization of Undersea Feature Names. Yaitu : Gunung Laut (Seamount) “Gapuro Sagoro”, Bukit (Hill) ”Yudo Sagoro”; Bukit (Hill) “Spica”; Bukit (Hill) “Rigel”; Bukit (Hill) “Yiew Vero”; Gosong (Bank) “Aurora”; Bukit (Hill) “Moro Gada”; dan Gunung Laut (Seamount) “Moro Sagoro”.
Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Yudo Margono mengatakan pengetahuan yang rinci tentang bentuk dasar laut sangat penting bagi keselamatan navigasi dan digunakan untuk banyak aplikasi lain serta bagi ilmu pengetahuan. Peta laut sebagai sarana visualisasi bentuk rinci dasar laut memainkan peran penting dalam melestarikan dan memanfaatkan laut dan sumber dayanya untuk pembangunan berkelanjutan khususnya untuk kepentingan navigasi selama berabad-abad.
Sebagian besar perairan NKRI masih belum dijelajahi, diamati dan dipetakan. Hanya sebagian kecil dari dasar laut yang telah dipetakan secara sistematis dengan survei hidrografi yang dilaksanakan sejak era kolonial Belanda hingga saat ini. Oleh karena itu, penamaan fitur bawah laut yang diakui oleh dunia internasional merupakan salah satu wujud dari kedaulatan wilayah laut Indonesia yang harus terus diperjuangkan.
(Della|Dispenal)